Salah satu cara untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada
Allah swt adalah dengan cara membahagiakan anak yatim, yaitu anak kecil yang
belum baligh yang ditinggal wafat oleh ayahnya. Islam menganjurkan semua umat
Islam untuk memberikan kasih sayang kepada mereka. Memuliakan dan menyantuni
mereka, serta memenuhi semua kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Hal ini merupakan
warisan yang diajarkan oleh Rasulullah saw selama hidupnya. Ia merupakan sosok
seorang Nabi yang sangat cinta dan sayang pada anak yatim. Maka tidak heran
jika kita sebagai umatnya dianjurkan oleh Nabi untuk merawat dan mencintai
mereka dengan sepenuh hati.
Oleh karenanya, bulan Muharram ini merupakan momentum yang
sangat tepat bagi kita semua untuk membahagiakan anak-anak yatim. Sebab,
Muharram merupakan bulan yang dianjurkan oleh Nabi untuk memuliakan dan
menyantuni mereka, sebagai bentuk kepedulian umat Islam dan memberikan semangat
kepada mereka untuk terus belajar dan berjuang dalam meraih cita-citanya.
Anjuran menyantuni dan membahagiakan anak yatim sebagaimana ditegaskan dalam
Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 220:
Artinya: Mereka menanyakan
kepadaMu (Nabi Muhammad) tentang anak-anak yatim. Katakanlah, ‘Memperbaiki
keadaan mereka adalah baik!’ Dan jika kamu mempergauli mereka, maka mereka
adalah saudara-saudaramu. Allah mengetahui orang yang berbuat kerusakan dan
yang berbuat kebaikan.
Merujuk pendapat Imam at-Thabari dalam kitab Tafsir
at-Thabari, ia menjelaskan bahwa Allah menurunkan ayat ini untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan orang-orang yang hidup bersama anak yatim yang telah
mencampur hartanya dengan harta mereka.
Pemeliharaan anak Yatim; Kemudian ayat ini menjelaskan bahwa
yang terpenting dalam hal ini adalah pemeliharaan yang baik terhadap anak-anak
yatim, tidak menyia-nyiakan hidupnya, tidak menelantar-kannya, serta terjamin
ketentraman dan kesejahteraannya.
Dengan demikian, pelajaran penting dalam ayat ini adalah
mengajak kepada kita semua untuk senantiasa membahagiakan anak-anak yatim,
dengan cara memenuhi semua kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan menjaga
kesejahteraan dan ketentramannya.
Perlakuan pada Keberadaan anak yatim dalam suatu rumah yang
diperlakukan dengan baik menjadi keberkahan tersendiri bagi penghuninya. Hal
ini sebagaimana disebutkan oleh Nabi dalam salah satu haditsnya, yaitu:
Artinya: Sebaik-baiknya
rumah di kalangan umat Islam adalah rumah yang di dalamnya terdapat anak yatim
yang diperlakukan dengan baik. Dan seburuk-buruknya rumah di kalangan umat
Islam adalah rumah yang di dalamnya terdapat anak yatim yang diperlakukan
dengan buruk (HR Abu Hurairah).
Pahala yang sangat istimewa kepada orang-orang yang merawat anak
yatim; Tidak hanya berupa anjuran merawat dan menyantuni anak yatim
saja, namun Allah juga menjanjikan pahala yang sangat istimewa kepada
orang-orang yang merawat anak yatim. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah saw
bersabda:
Artinya: Aku dan orang
yang merawat anak yatim seperti ini dalam surga. Kemudian nabi memberi isyarat
dengan jari telunjuk dan jari tengah, seraya sedikit merenggangkannya (HR
Bukhari dan Muslim).
Hadits Nabi di atas kiranya sudah cukup bagi kita semua perihal
kemuliaan anak yatim dan orang-orang yang merawatnya. Kemuliaan yang akan
didapatkan oleh mereka sangat istimewa, yaitu akan di tempatkan di dalam surga
berdekatan dengan Rasulullah.
Merawat Anak
Yatim itu Penting: Perspektif Syekh ‘Alauddin
al-Baghdadi; Merawat dan menjaga anak yatim adalah kewajiban yang
ditekankan dalam banyak tradisi agama, termasuk Islam. Syekh ‘Alauddin al-Baghdadi,
dalam kitab Tafsir Lubabut Ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil, menjelaskan tiga alasan
utama mengapa kita diharuskan untuk merawat anak yatim.
Pertama, anak yatim masih sangat kecil dan tidak bisa mengatur
pola kehidupannya. Anak-anak, terutama yang masih kecil, belum memiliki
kemampuan untuk mengurus diri mereka sendiri. Mereka memerlukan bimbingan,
perhatian, dan perawatan dari orang dewasa. Tanpa sosok yang dapat membimbing
mereka, anak-anak ini akan kesulitan menjalani kehidupan sehari-hari. Mereka butuh
orang dewasa yang dapat mengarahkan dan membantu mereka memahami dunia di
sekitar mereka.
Kedua, kesendiriannya karena kehilangan seorang ayah. Anak yatim
telah kehilangan salah satu figur terpenting dalam hidup mereka, yaitu ayah.
Kehilangan ini tidak hanya berdampak emosional tetapi juga praktis. Ayah
biasanya adalah sumber dukungan emosional dan finansial. Ketika seorang anak
kehilangan ayahnya, mereka kehilangan perlindungan dan rasa aman yang diberikan
oleh figur ayah. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memberikan dukungan
dan kasih sayang yang mereka butuhkan untuk mengatasi rasa kesepian dan
kehilangan ini.
Ketiga, tidak adanya orang yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.
Anak yatim seringkali tidak memiliki akses ke kebutuhan dasar seperti makanan,
pakaian, pendidikan, dan perawatan kesehatan. Tanpa seseorang yang bertanggung
jawab untuk memenuhi kebutuhan ini, mereka bisa jatuh ke dalam kemiskinan dan
kekurangan. Merawat anak yatim berarti memastikan bahwa mereka memiliki akses
ke semua kebutuhan dasar ini, memberikan mereka kesempatan untuk tumbuh dan
berkembang dengan baik.
Secara keseluruhan, merawat anak yatim adalah tindakan mulia
yang membantu anak-anak ini memiliki masa depan yang lebih baik. Dengan
memberikan mereka perhatian, dukungan, dan cinta, kita tidak hanya memenuhi
kewajiban moral dan agama kita tetapi juga berkontribusi terhadap pembentukan
generasi yang lebih baik di masa depan.
Selain balasan istimewa berupa surga yang berdekatan dengan Nabi
di akhirat, merawat dan menyantuni anak yatim juga memiliki balasan yang sangat
istimewa ketika di dunia, yaitu akan dilunakkan hatinya oleh Allah swt. Hal ini
sebagaimana diceritakan dalam salah satu riwayat sahabat Abu Hurairah, bahwa
suatu saat ia mendengar seorang laki-laki yang mengadu kepada Rasulullah
perihal hatinya yang keras, kemudian Nabi menyuruhnya untuk memberi makan orang
miskin dan mengusap kepala anak yatim,
Artinya: Dari Abu
Hurairah, bahwa terdapat seorang laki-laki mengadu kepada nabi tentang hatinya
yang keras, maka nabi bersabda: Berilah makanan kepada orang miskin, dan
usaplah kepala anak yatim.
*) Prof A. Rusdiana, Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung.