Serial Ramadhan #1. Urgensi Ilmu Menuju Ramadhan

Marhaban ya Ramadhan...Sebagai umat muslim tentunya dalam menyambut ...

Marhaban ya Ramadhan...


Sebagai umat muslim tentunya dalam menyambut bulan ramadhan ini dengan suka cita dengan kebahagiaan. Persiapan dan suksesnya ramadhan adalah bagaimana kita menjadi golongan orang-rang yang bertaqwa sehingga kebaikan-kebaikan dalam rangka persiapan menuju ke ramadhan akan selalu ditingkatkan baik frekuensi atau kualitasnya. Umar Bin Khotob RA pernah berpesan Hindarilah sifat malas dan bosan, karena keduanya kunci keburukan. Sesungguhnya jika engkau malas, engkau tidak akan banyak melaksanakan kewajiban. Jika engkau bosan, engkau tidak akan tahan dalam menunaikan kewajiban.”

 

Hal inilah yang seharusnya mendorong kita untuk termotivasi mempersiapkan diri secara Psikis dan religi untuk dapat sukse ramadhan. Nabi Muhammad sholallahu’alaihi wasalam, mengajarkan doa yang sangat masyhur. Allahumma barik lana fi rajaba wasya'bana waballighna ramadhana. Artinya: "Ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan bulan Sya'ban dan pertemukanlah kami dengan bulan Ramadan." (HR Ahmad dan At-Thabrani).

 

Sebagai seorang muslim kita menyakini banyak fadhilah di bulan Ramadhan yang tidak bisa kita dapatkan di hari-hari lainnya.  Maka memohon kepa Allah swt dengan doa tersebut agar diberi kekuatan untuk dipertemukan dan menjalani hari-hari di bulan Ramadhan.

 

Ayat-ayat Al Quran yang menerangkan tentang ramadhan hanya ada 1 ayat saja, akan tetapi ayat yang bicara tentang puasa ada 5 ayat 183-187 surat Al-Baqarah.  Ayat-ayat ini memiliki kekuatan hukum yang sangat kuat sebagai landasan untuk kita jalankan dalam rangka menambah kebaikan-kebaikan sebagai bekal kita menghadap Sang Kholiq.

 

QS. Al Baqarah : 183

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

 

Perintah puasa sudah ada sejak sejak Nabi Nuh as dan setelahnya, ada puasa ayyamul bidh dan puasa Asyura. Setelah Ramadhan ditetapkan maka Rasulullah SAW sudah tidak memantau kembali puasa Asyura.

 

Ayat di atas menerangkan bahwa puasa merupakan sebab terbesar untuk memperoleh ketakwaan. Puasa merupakan tameng bagi seseorang dari perbuatan maksiat, karena ia dapat melemahkan syahwat yang menjadi sumber maksiat. Di dalam puasa terkandung nilai-nilai ketaqwaan. La’allakum tattaqun bermakna tujuan/hadaf dan Raja’ (harapan).

Tidak dijamin orang yang puasa langsung menjadi taqwa tetapi semua kembali kepada kita semua dalam menggunakan semua instrument (sarana) yang Allah Swt sediakan di bulan Ramadhan. “La’ala= Semoga, mudah-mudahan kita menjadi orang yang bertaqwa karena ketaqwaan adalah puncak dari kehambaaan kepada Allah Swt yang di dalamnya terkandung beberapa hal :

    1. Di dalam puasa seseorang meninggalkan hal-hal yang disukainya seperti makan, minum dan berjima'. Jika seseorang mampu meninggalkan hal-hal yang disukainya, nantinya ketika dihadapkan perbuatan maksiat yang disukai hawa nafsunya, maka ia mampu menahan dirinya sebagaimana ia mampu menahan dirinya dari makan, minum dan berjima'. Dengan begitu ia dapat bertakwa kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

    2. Orang yang berpuasa melatih dirinya agar merasa diawasi Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Ketika puasa, ia meninggalkan apa yang diinginkan oleh hawa nafsunya padahal ia mampu karena mengetahui bahwa dirinya diawasi Allah Swt. 

    3. Puasa mempersempit ruang gerak setan, di mana ia berjalan melewati tempat peredaran darah.

    4. Orang yang berpuasa biasanya banyak menjalankan keta'atan dan maksiatnya berkurang. Hal ini termasuk nilai-nilai ketakwaan.

    5. Orang yang kaya ketika merasakan pedihnya rasa lapar, membuat dirinya merasakan derita orang-orang fakir dan miskin. Hal ini akan membuatnya ingin bersedekah karena telah merasakan derita orang-orang fakir dan miskin.

 

QS. Al Baqarah : 184 Orang bisa memilih berpuasa atau membayar fidyah

(yaitu) dalam beberapa hari tertentu. Barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya mengganti) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

 

QS Al Baqarah : 185 Allah Swt menyampaikan hukum yang permanen.

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.

 

Ayat diatas diawali dengan Syahru Ramadhana, bahwa di  bulan Ramadhan di dalamnya diturunkan Al-Qur’an dan yang disebutkan pertama kali adalah Qur’an bukan puasa. Artinya keterkaitan Ramadhan dan Al Qur’an adalah sangat kuat.

 

Dengan diturunkannya Al-Qur’an dibulan ramadhan menjadikan bulan ini disebut sebagai sahru Qur’an. Ada perbedaan waktu turunnya wahyu Alqur’an yang pertama kali, ada 3 pendapat yang menyatakan turunnya Al Qur’an di bulan Ramadhan, ada di hari yang ke-17, 21 dan 24 ramadhan.

 

Perjalanan kita sebagai umat adalah dimulai di bulan Ramadhan, maka kita merayakan hari kelahiran sebagai umat Islam dengan berpuasa, dan sebagai bentuk kesyurkuran kita adalah beribadah kepada Allah SWT dengan menghindarkan diri dari maksiat kepada Allah SWT.

 

Al-Qur’an yang memuliakan Ramadhan dan semua yang terkait dengan Al-Qur’an menjadi mulia. Ada malam lailatul qodr, malam yang lebih baik dari seribu bulan. Jika kita lekat dengan Al-Qur’an maka kita akan menjadi mulia.

 

Di ayat ini, puasa hanya boleh diganti dengan qodha kemudian Allah Swt menyambungnya  ”sesungguhnya Allah menginginkan kemudahan. Bulan Ramadhan adalah latihan dimana hati akan lebih mudah dalam kendali. Ramadhan menjadi lebih mudah dalam menjalankannya karena di bulan Ramadhan musuhnya ditahan, para jin di belenggu dari menggoda manusia. Di Ramadhan tinggal musuh intern (hawa nafsu), syaithan di belenggu.

 

QS. Al Baqarah :186, ayat tentang doa yang seakan-akan tidak ada kaitannya dengan puasa.

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdo'a kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memenuhi (perintah-Ku) dan beriman kepada-Ku, agar mereka mendapat petunjuk.

 

Jika hambaku bertanya kepadamu tentang diriku sesungguhnya aku dekat sehingga tidak perlu Rasulullah SAW yang menyampaikan tetapi Allah Swt sendiri yang langsung mengatakan Aku dekat. Aku (Allah) akan mengabulkan doa orang-orang yang berdoa. Maka perbanyak doa-doa di bulan ramadhan. Misal : Allaahumma innaka ‘afuwwun tuhibul ‘afwa fa’fuanni.

 

Ramadhan adalah bulan mohon ampun bertaubat kepada Allah. Ramadhan dijadikan sebagai bulan untuk bersih-bersih dosa (bulan tazkiyah). Jika kita bersih maka kita lebih gesit dan lebih lincah untuk beribadah kepada Allah SWT. Kata Imam Al Ghozali, “ibarat lari sprint tetapi membawa beban yang berat maka dosa adalah beban yang membebani diri kita. Jika kita masih berat jangan-jangan kita masih banyak dosanya terutama kesalahan kepada sesama manusia maka kita harus minta ridhonya.

 

Tiga hal terkait dosa sesama manusia dan taubatnya : 

    1. Kehormatan (Ghibah) maka taubatnya harus mengumpulkan orang yang diajak ghibah.

    2. Harta maka taubatnya harus dikembalikan harta yang kita ambil/bukan milik kita.

    3. Jiwa maka taubatnya dengan hukum qishos jika sengaja, kecuali dimaafakan oleh keluarga ahli warisnya.

 

QS. Al Baqarah : 187

Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri kamu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu, karena itu Allah mengampuni dan memaafkan kamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam. Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beri'tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa.

 

Ayat ini menerangkan waktu makan, minum dan berjima', yaitu sampai terbit fajar shadiq. Ayat ini juga menunjukkan bahwa apabila seseorang makan atau minum dalam keadaan ragu-ragu apakah sudah terbit fajar atau belum, maka tidak mengapa. Demikian juga menerangkan beberapa hal berikut: 

    1. Anjuran makan sahur dan anjuran menta'khirkannya; diambil dari rukhshah dan kemudahan yang diberikan Allah.

    2. Bolehnya seseorang mendapatkan waktu fajar dalam keadaan junub dari jima' yang dilakukan sedangkan ia belum mandi, dan puasanya sah. Hal ini, karena sesuatu yang lazim dari bolehnya jima' sampai terbit fajar adalah mendapatkan waktu fajar dalam keadaan baru selesai jima' (masih junub), dan lazim dari yang hak (benar) adalah hak (benar) pula.

 

Akhir ayat ini ada kata-kata "jangan mendekati" lebih dalam daripada sekedar "jangan melakukan". Karena jangan mendekati mencakup larangan mengerjakan perbuatan yang dilarang tersebut demikian juga segala wasilah (sarana) yang mengarah kepadanya. Karena biasanya orang-orang melakukan perbuatan maksiat karena tidak mengetahui bahwa hal itu merupakan maksiat maka Allah Swt di ayat tersebut menerangkan hukum-hukum-Nya agar mereka dapat menjauhinya. Dengan demikian, tidak ada lagi 'udzur dan alasan untuk mengerjakan larangan tersebut. #pam

Balqis Peduli
20 Feb 2025   148 kali
Kontak Kami