Isra Mi’raj adalah perjalanan luar biasa Nabi Muhammad SAW dari
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa (Isra), dilanjutkan ke Sidratul Muntaha
(Mi’raj). Lebih dari sekadar perjalanan fisik, peristiwa ini mengandung pesan
mendalam tentang hubungan manusia dengan Sang Pencipta dan sesama.
Dimensi Spiritual dan
Sosial dalam Isra Mi’raj
Isra melambangkan hubungan horizontal antara manusia dan
lingkungan sosialnya, sementara Mi’raj merepresentasikan hubungan vertikal
dengan Allah SWT. Keduanya saling melengkapi, menunjukkan bahwa kesalehan
sejati hanya dapat tercapai melalui keseimbangan antara ibadah ritual dan aksi
sosial.
Dalam perjalanan Mi’raj, Nabi Muhammad menyaksikan berbagai
siksaan metaforik yang menggambarkan konsekuensi dari penyimpangan
sosial, seperti menelantarkan anak yatim, memakan harta haram, dan menyebarkan
fitnah. Di balik pendiskripsian sederhana
mengenai peristiwa-peristiwa di atas menyimpan kritik terhadap penyimpangan
sosial yang dapat mengancam simpul-simpul tatanan masyarakat dan cita-cita
sosial Islam. Sebagaimana dilihat, kritik sosial yang disampaikan pada
peristiwa mi`raj adalah penyimpangan sosial yang dihadapi setiap bangsa di
setiap masa.
Pesan
moral ini tetap relevan dalam menghadapi masalah-masalah sosial modern seperti
ketimpangan ekonomi, korupsi, dan eksploitasi.
Kesalehan Sosial:
Fondasi Islam
Kesalehan sosial yang dimaksud bukan hanya pelengkap, melainkan
inti ajaran Islam. Ibadah seperti zakat tidak hanya bertujuan membersihkan
harta, tetapi juga mendistribusikan kesejahteraan untuk meminimalkan
kesenjangan ekonomi.
Mewujudkan cita-cita sosial Islam merupakan bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari perjalanan spiritual seorang muslim menuju Allah. Itu
sebabnya, dalam banyak riwayat ditemukan kritik Nabi pada orang yang lebih
memprioritaskan ibadah ritual daripada ibadah sosial. Kesalehan seseorang
terletak pada wilayah sosial dan ritualnya. Seandainya seorang egois, Nabi
mungkin lebih memilih tetap “bersama” Allah di Sidratul Muntaha. Bukankah
“kebersamaan” dengan-Nya merupakan tujuan segalanya? Namun, beliau turun lagi
ke bumi, karena ada pekerjaan besar yang harus diselesaikannya, yaitu
meletakkan dan mewujudkan tonggak cita-cita sosial Islam bagi khususnya masyarakat
Arab.
Mi`raj pada dasarnya adalah upaya transformasi sosial yang
berporos pada nilai-nilai ilahi. “Pertemuan” dengan Tuhan yang dialami Nabi
dalam mi`raj berarti mempertemukan problem sosial-kemanusiaan dengan solusi
transendental. Pertemuan itu menghasilkan tranformasi sosial melalui
bentuk—meminjam istilah Kuntowijoyo—humanisasi/emansipasi (ta`muruna bil-ma`ruf), liberasi (tanhauna `anil-munkar), dan transendensi (tu’minuna billah), yang diderivasikan dari Q.S. Ali Imran [3]:110.
Kaira umatin (masyarakat terbaik) adalah ujung cita-cita sosial Islam.
Shalat, yang diwajibkan melalui Isra Mi’raj, memiliki dimensi
sosial yang mendalam. Ayat Al-Qur’an menyatakan bahwa shalat mencegah perbuatan
keji dan mungkar (QS Al-‘Ankabut: 45). Gerakan dalam shalat juga memiliki pesan
simbolis: takbir mengajarkan kerendahan hati, sementara salam menyiratkan pesan
perdamaian dan harmoni sosial.
Sholat lima waktu ini dikatakan ibadah yang istimewa, karena beberapa
alasan, di antaranya ada 6 (enam) keistimewaan ibadah sholat sebagai berikut :
Pertama, karena sholat lima waktu merupakan satu-satunya ibadah yang
diwajibkan Allah SWT dengan cara yang khusus, yaitu Rasulullah SAW mendapat
langsung perintah sholat lima waktu di Sidratul Muntaha secara langsung dari
Allah SWT. (Lihat Bab Kayfa Furidhat al-Shalāt fī al-Isrā`, Ibnu Hajar
al-’Asqalani, Fatḥul Bārī Syaraḥ Shahīh al-Bukhāri, Juz I, hlm. 545).
Kedua, karena sholat lima waktu ini merupakan ibadah yang secara khusus
disebut bersama sabar, sebagai cara kita meminta pertolongan kepada Allah SWT.
Firman Allah SWT :
“Dan mohonlah pertolongan
(kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Dan (sholat) itu sungguh berat, kecuali
bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS. Al-Baqarah [2] : 45).
Ketiga, karena sholat lima waktu ini merupakan perkara yang pertama kali
akan dihisab kelak di Hari Kiamat, sesuai sabda Nabi SAW :
“Sesungguhnya amal
yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada Hari Kiamat adalah shalatnya.
Maka, jika shalatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika
shalatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari shalat
wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman: ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki
shalat sunnah.’ Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari shalat wajibnya.
Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya.”
(HR. Al-Tirmidzi, no. 413).
Keempat, karena sholat lima waktu ini merupakan pembeda antara mukmin dan
kafir. Sabda Nabi SAW :
“Antara seorang muslim dan
seorang musyrik dan kafir adalah meninggalkan sholat.” (HR. Muslim, no.
82).
Imam Nawawi men-syarah hadits di atas dengan mengatakan :
“Adapun orang yang
meninggalkan sholat, (ada rincian hukumnya, yaitu) jika dia mengingkari
kewajiban sholatnya, maka dia kafir menurut ijmā’ (kesepakatan) kaum muslimin,
yakni sudah keluar (murtad) dari agama Islam, kecuali kalau dia baru masuk
Islam dan belum berinteraksi dengan kaum muslimin dalam jangka waktu tertentu
yang belum sampai kepadanya kewajiban sholat atasnya. Jika dia meninggalkan
sholat karena malas namun dia masih meyakini wajibnya sholat, sebagaimana
keadaan banyak orang, maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Imam
Malik, Imam Syafi’i, rahimahumāllāhu, dan jumhur ulama salaf dan khalaf
mengatakan bahwa orang itu tidak dikafirkan melainkan hanya
difasikkan…Segolongan ulama salaf berpendapat bahwa orang itu (orang yang
meninggalkan sholat) dikafirkan…ini merupakan salah satu dari dua pendapat Imam
Ahmad bin Hanbal, rahimahullāh… Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa orang itu
tidak dikafirkan dan tidak dijatuhi hukuman mati melainkan di-ta’zīr dan
dipenjara hingga dia mau melakukan sholat.” (Imam
Nawawi, Shahīh Muslim bi Syarah Al-Nawawī, 2/70).
Kelima, karena sholat lima waktu inilah yang disebut dalam Al-Qur`an
akan mencegah pelakunya dari (perbuatan) keji dan mungkar. Firman Allah SWT :
“Sesungguhnya shalat
itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al-‘Ankabūt : 45).
Keenam, karena sholat lima waktu ini yang membedakan orang mukmin (yang
mampu bersujud) dan munafik (yang tak mampu bersujud) di Hari Kiamat nanti,
sesuai firman Allah SWT :
“(Ingatlah) pada hari
ketika betis disingkapkan (Hari Kiamat) dan mereka (orang munafik) diseru untuk
bersujud; maka mereka tidak mampu (bersujud). Pandangan mereka tertunduk ke
bawah, diliputi kehinaan. Dan sungguh, dahulu (di dunia) mereka telah diseru untuk
bersujud (sholat lima waktu) pada waktu mereka sehat (tetapi mereka tidak
melakukan sholat)." (QS. Al-Qalam : 42-43)
Isra Mi’raj mengajarkan pentingnya transformasi sosial berbasis
nilai spiritual, moral, dan struktural. Dalam konteks modern, prinsip keadilan,
solidaritas, dan persaudaraan Islam menjadi solusi bagi tantangan global, mulai
dari ketimpangan sosial hingga kerusakan lingkungan. #pam